Pemahaman siswa terhadap dinamika politik Indonesia
Pada umumnya politik menurut Miriam Budiarjo (2007: 8), “Bermacam-macam kegiatan dalam sistim politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistim itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”. Seorang filosof Yunani terkenal yakni Aristoteles (322-384 SM) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk berpolitik (zoon politicon), artinya makhluk bermasyarakat atau makhluk bernegara. Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut manusia sebagai makhluk sosial, yakni makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri. Dengan perannya baik sebagai makhluk politik maupun makhluk sosial, maka manusia akan senantiasa terlibat dalam suatu gerak (dinamika) dalam masyarakat. Dinamika tersebut pada akhirnya akan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun mental yang memang sulit untuk dipenuhi seorang diri. Dinamika tersebut secara khusus dinamakan dinamika politik. (Wijianto, 2004: 95). Dinamika politik berkaitan erat dengan perubahan politik yang istilahnya disejajarkan dengan pembangunan politik dan modernisasi politik. Pembangunan dan modernisasi politik merupakan perubahan politik tapi perubahan politik belum tentu sebagai pembangunan politik atau modernisasi politik.
Istilah pembangunan politik merupakan usaha yang disengaja, terencana, adanya sasaran yang jelas, evolusioner dan tidak dilaksanakan dengan kekerasan dalam penataan kehidupan politik. Modernisasi politik merupakan bangunan politik yang
sesuai dengan tingkat perkembangan zaman.
Perubahan politik menyangkut persoalan-persoalan sistem nilai politik, struktur kekuasaan serta strategi mengenai kebijakan umum yang berkenaan dengan lingkungan maayarakat dan lingkungan alam yang mempengaruhi dan dipengaruhi sistem politik. Dinamika politik yang dapat ditanamkan oleh guru pada saat proses pembelajaran di antaranya menurut Aim Abdulkarim (2004: 110) adalah “Dinamika dalam bidang politik, dinamika pembangunan hukum, serta dinamika pembangunan ekonomi”. Hal-hal tersebut diuraikan berikut ini.
1. Dinamika bidang politik
Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistik dan kultur neofeodalistik mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga kepresidenan, mengakibatkan krisis struktural dan sistematik. Artinya tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara proporsional dan optimal. Terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan. Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan. Selain itu, adanya kecenderungan pengambilan keputusan kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis.
Keadaan ini menimbulkan hambatan dalam menciptakan keadilan, pemerataan hasil pembangunan, dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Demikian pula dengan masalah pengembangan kualitas sumber daya manusia, sikap mental, serta kaderisasi pemimpin bangsa, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan neofeodalistik mendorong mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya, terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek askeptabilitas dan legitimasi.
2. Dinamika pembangunan hukum
Selama tiga puluh tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya hal-hal sebagai berikut. Peluang tersebut menurut Aim Abdulkarim (2004: 45) adalah:
a. Terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa.
b. Terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan, dan kepastian hukum masyarakat.
c. Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat sehingga menempatkan rakyat pada posisi lemah.
3. Dinamika pembangunan ekonomi
Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi telah berhasil mengurangi
penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Krisis ekonomi yang melanda bangsa telah membalikkan situasi tersebut sehingga mengakibatkan hal-hal sebagai berikut.
a. Bertambahnya penduduk miskin dan jumlah pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja.
b. Kondisi kehidupan sosial ekonomi rakyat makin memprihatinkan. Harga sembilan kebutuhan pokok dan obat-obatan tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat.
c. Taraf hidup rakyat menurun tajam, kualitas hasil didik tidak memberikan harapan dan jumlah peserta didik yang putus sekolah semakin meningkat.
d. Jati diri bangsa yang disiplin, jujur, memiliki semangat kerja tinggi serta berakhlak mulia belum dapat diwujudkan, bahkan cenderung menurun. Aksi-aksi brutal oleh sebagian warga masyarakat berupa penjarahan dan perampokan, perilaku atau tindakan tidak terpuji lainnya yang melnggar hukum dan agama yang terjadi akhir-akhir ini, sungguh-sungguh bertentangan dengan akhlak mulia dan budi pekerti luhur yang bersumber dari norma-norma ajaran agama, serta nilai-nilai budaya bangsa. Selain itu, perilaku yang tidak menghormati dan menjunjung tinggi hukum, ketimpangan, ketegangan, dan penyakit sosial yang menggejala, kurangnya rasa kepedulian dan ksetiakawanan telah tumbuh dalam masyarakat. Krisis ekonomi dewasa ini makin menghilangkan semangat dan optimisme bahwa bangsa Indonesia bisa memecahkan masalah dengan kekuatan sendiri.
e. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha yang kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif. Sebagai akibatnya, krisis moneter yang melanda Indonesia, tidak dapat diatasi dengan baik sehingga memerlukan kerja keras untuk bangkit kembali.
f. Rentannya ekonomi Indonesia dipicu oleh jatuhnya nilai tukar rupiah sampai ke tingkat terendah. Pemerintah tidak mengambil langkah yang konkrit dan jelas untuk mengatasi krisis kurs tersebut. Pembangunan industri tidak berbasis kepada masyarakat atau potensi unggulan darah, tidak ada keterkaitan antara industri besar, menengah, dan kecil yang serasi serta struktur industri sehingga dari kondisi semula swasembada beras telah berubah menjadi pengimpor beras.
g. Sistem perbankan yang tidak mandiri karena intervensi pemerintah terhadap Bank Sentral yang terlalu kuat melemahkan ekonomi nasional. Hubungan erat antara penguasa dan pemilik bank-bank swasta telah menyebabkan pemberian fasilitas yang tidak terbuka merugikan masyarakat dan negara. Di samping itu, ketidak hati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam mengelola dana telah memperparah kondisi ekonomi.
h. Penyelenggaraan perekonomian nasional kurang mengacu kepada anamat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental itu juga disebabkan pengabaian perekonomian kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai unggulan komparatif dan kompetitif.
Fakta-fakta yang telah dijelaskan tersebut, diakibakan faktor ketertutupan, kurang budaya keterbukaan, dan kurang adanya pengawasan langsung dari masyarakat, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan serta kurang adanya saluran komunikasi antara penyelenggara negara dan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, di masa reformasi ini, masalah yang menjadi tantangan di masa mendatang adalah bagaimana agar jurang perbedaan kaya-miskin, antardaerah, antargolongan, dan antarlapisan masyarakat tidak semakin melebar. Selain itu, budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme pun tidak kalah pentingnya untuk dipecahkan. Prospeknya, bagaimana aparatur pemerintah dan rakyat mampu melahirkan kebijakan sistem kontrol yang lebih sistematis dan penyalahgunaan kekuasaan di semua peringkat strutur pemerintah dan masyarakat dapat ditanggulangi.
Salah satu langkah awal yang mungkin dapat dilakukan dalam menganggulangi masalah tersebut adalah perlu diadakan perubahan secara mendasar terhadap tatanan ekonomi dan kekuasaan politik, yakni terciptanya manusia yang lebih memihak kepada golongan ekonomi lemah dengan prosedur peminjaman modal yang tidak berbelit-belit, penyebaran pembangunan di semua wilayah Indonesia dan tidak terpusat di pulau Jawa. Dengan perubahan sosial tersebut, mendorong proses demokratisasi, penegakan hak-hak asasi manusia dan terwujudnya keadilan secara bertahap di semua lapisan masyarakat.
Kondisi demikian membawa dampak ruang gerak sipil menjadi leluasa untuk berkiprah di bidang politik. Selain itu, kedewasaan dan kemandirian sipil akan berkembang, kalau memang peluang itu diberikan. Partai politik akan memiliki akar kuat dalam masyarakat, tidak merasa tertekan kalau campur tangan dihilangkan, baik dalam menentukan calon pemimpinnya maupun dalam menentukan kebijakan partai atau dalam menentukan pembentukan partai baru.
0 komentar:
Posting Komentar